Pelaksanaan Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda II
Pelaksanaan Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda II
Raffles digantikan oleh John Fendell. Namun perlu kalian ketahui bahwa pada tahun 1814 telah diadakan Konvensi London. Berdasarkan konvensi itu Inggris harus mengembalikan daerah kekuasaannya di Indonesia kepada pihak Belanda. John Fendell pun secara resmi pada tahun 1816 menyerahkan Indonesia kembali kepada Belanda. Dengan demikian Indonesia kembali berada di bawah kekuasaan Belanda.
Setelah kembali ke tangan Belanda, Indonesia dipimpin oleh tiga orang Komisaris Jenderal, yaitu Elout, Van der Capellen dan Buyskas. Sementara itu kondisi perekonomian Belanda sedang merosot. Pemerintah Belanda mengalami kesulitan ekonomi. Menghadapi kesulitan kesulitan ekonomi itu, maka pada tahun 1829 seorang tokoh bemama Johannes Van den Bosh mengajukan kepada raja Belanda usulan-usulan yang berkaitan dengan cara-cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Indonesia. Usul-usul itu antara lain bagaimana meng hasilkan lebih banyak produk-produk tanaman yang dapat dijual di pasaran dunia.
Sesuai dengan keadaan di negeri jajahan, maka penanaman dilakukan dengan paksa. Konsep yang diusulkan Van den Bosh itulah yang kemudian dikenal dengan Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Untuk dapat melaksanakan rencana tersebut pada tahun 1830 Van den Bosh diangkat sebagai Gubernur Jenderal baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa Van den Bosh segera mencanangkan sistem dan program Tanam Paksa.
a. Tanam Paksa
Sistem Tanam Paksa adalah kebijakan Gubernur Jendral Van den Bosh yang mewajibkan para petani Jawa untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor ke pasaran dunia. Jenis tanaman itu antara lain kopi, tebu, tembakau, nila. Ciri utama dari sistem Tanam Paksa adalah mewajibkan rakyat di Jawa untuk membayar pajak dalam bentuk barang dengan hasil-hasil pertanian yang mereka tanam.
Untuk mempermudah pelaksanaan sistem tersebut diperlukan ketentuan-ketentuan yang lebih rinci. Ketentuan-ketentuan Tanam Paksa itu seperti termuat di dalam Staatblat (Lembaran Negara) Tahun 1834, No. 22. Ketentuan-ketentuan itu sebagai berikut.
- Berdasarkan persetujuan, penduduk menyediakan sebagian dari tanahya untuk penanaman tanaman yang hasilnya dapat dijual di pasaran dunia.
- Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan Tanam Paksa tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
- Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan atau tanaman ekspor (jenis tanaman untuk Tanam Paksa) tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
- Tanah yang disediakan untuk tanaman dagangan dibebaskan dari pernbayaran pajak tanah.
- Hasil tanaman dagangan itu wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak tanah yang harus difbayarkan oleh rakyat, maka ditaksir kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.
- Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah.
- Penduduk desa bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa itu di bawah pengawasan langsung oleh para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum.
Menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tampaknya tidak terlalu memberatkan dan menekan rakyat. Bahkan pada prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan dengan sistern paksaan tersebut. Ini artinya ketentuan Tanam Paksa itu masih memperhatikan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan.
b. Pelaksanaan Tanam Paksa
Dalam pelaksanaanya ternyata tanam paksa sangat memberatkan rakyat Indonesia. Menurut ketentuan penjualan tanah petani kepada pemerintah untuk ditanami tanaman perdagangan/ekspor, berdasarkan persetujuan dan kerelaan dari rakyat. Ternyata seluruh pelaksanaan sistem Tanam Paksa didasarkan atas unsur paksaan. Para petani harus menyewakan tanah tanpa kompromi dan bahkan dipilih tanah-tanah yang subur. Luas tanah yang dipakai untuk Tanam Paksa ternyata tidak hanya seperlima namun mencapai sepertiga bahkan kadang-kadang sampai separuh dari luas tahah yang dimiliki petani.
Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman ekspor, menurut ketentuan tidak melebihi waktu dan pekedaan yang diperlukan untuk menanam padi, tetapi kenyataannya petani justru dipaksa bekerja lebih konsentrasi pada Tanam Paksa. Akibatnya sawah dan ladang para petani menjadi terbengkelai.
Tanah-tanah yang dipakai untuk Tanam Paksa ternyata masih dikenai pajak bersama dengan tanah yang tidak digunakan untuk Tanam Paksa. Menurut ketentuan kalau hasil tanaman ekspor ditaksir ternyata nilai harganya lebih dari target, maka kelebihan itu akan dikembalikan kepada petani, ternyata petani tidak pemah menerima kelebihan itu. Hal ini terjadi, terutama karena kekurangan dari pegawai pemerintah, atau bupati dan kepala desa yang menaksir hasil tanaman itu jauh lebih rendah dari target Tanam Paksa, padahal menurut taksiran-urnum mestinya dapat lebih. Dalam hal ini yang mendapat keuntungan bukan petani tetapi para petugas atau pegawai. Kemudian kerusakan tanaman dan kegagalan panen ternyata dibebankan kepada rakyat.
Karena pelaksanaan yang sangat memberatkan ranyat Indonesia, timbulah bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah, misalnya di Cirebon (1843 – 1844), Demak tahun 1849 dan Grobogan pada tahun 1850. Bagi Belanda, pelaksanaan Tanam Paksa telah mendatangkat keuntungan yang berlipat ganda. Dari tahun 1831 hingga tahun 1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta gulden, utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu pertahanan, terusan-terusan dan jalan-jalan kereta api Negara dibangun.
Dengan demikian pelaksanaan Tanam Paksa, secara umum telah berakibat buruk bagi rakyat Indonesia. Sedangkam keuntungannya, antara lain dikenalnya jenis tanaman baru seperti kopi dan indigo, adanya saluran-saluran irigasi, para petani mendapat pengetahuan baru, dapat memanfaatkan fasilitas yang dibangun di kelak kemudian hari.